Jumat, 02 November 2018

Rabu, 31 Oktober 2018

Pilpres 2019 Dan Strategi Dua Kaki SBY



Pertarungan pilpres 2019 adalah pertarungan ulang antara Jokowi versus Prabowo. Tampilnya Prabowo Subianto sebagai satu-satunya capres penantang Jokowi di pilpres 2019 sudah sesuai dengan skenario awal yang direncanakan kubu Jokowi.

Perubahan syarat dukungan partai dalam pencapresan sebagai mana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tujuannya adalah menutup peluang bagi kandidat lain, selain Prabowo untuk tampil sebagai penantang petahana Jokowi. Sejauh ini, rencana kubu Jokowi berjalan dengan baik dan sesuai harapan: Prabowo adalah capres ideal yang mudah dikalahkan oleh Jokowi. Setidaknya, itulah yang ada di benak pada master politik penyusun skenario dan sutradara panggung politik Indonesia di balik Jokowi?

Siapakah mereka master dan sutradara politik di balik Jokowi?

Kita sebut saja mereka Tim Begawan dan CSIS. Tim Begawan adalah sebuah paguyuban yang dibentuk dan menampung para jenderal purnawirawan kader Ali Murtopo, Benny Murdani, Sudjono Hoemardani para era Orde Baru (1967-1998).

Mereka dikenal dengan sebutan “jenderal merah”. Penggunaan kata 'merah' ini mengacu ideologi mereka yang “Anti Politik Islam' atau setidaknya anti pada kelompok 'Jenderal Hijau. Dua kubu di tubuh ABRI ini dulu terlibat pertarungan  politik: Jenderal Merah adalah kelompok penentang Islam di tubuh ABRI pada era tahun 1986-1998.

Saat itu, Pak Harto yang sudah merasa terancam oleh dominasi Benny Murdani di ABRI, kelompok konglonerat Tionghoa di sektor ekonomi, dan kelompok non Islam di politik dan birokrasi, berbalik: semula memusuhi kelompok Islam, berubah menjadi merangkul Islam. Kemesraan Suharto dan Islam pada era 1986 - 1998 turut mewarnai ABRI, di mana jika sebelumnya perwira-perwira Islam disingkirkan, sejak 1986 perwira Islam di ABRI diberi kesempatan luas menjadi jenderal dan menduduki posisi strategis di ABRI. Mereka ini kemudian dijuluki Jenderal Hijau, sedangkan kelompok yang sebelumnya dominan di ABRI dan menolak ABRI Hijau, disebut sebagau kelompok Jenderal Merah.


Binaan Ali Murtopo-Benny Murdani -CSIS
Mereka - kelompok Jenderal Merah adalah para jenderal binaan Ali Murtopo - Benny Murdani yang sangat erat hubungannya dengan CSIS sejak 1971 sampai hari ini.

Mereka antara lain: AM Hendropriyono, Sintong Panjaitan, Try Sutrisno, Wiranto, TB Silalahi, TB Hasanuddin, R.S. Warouw, Albert Paruntu, Agum Gumelar, Sutiyoso, Susilo Bambang, Yudhoyono, Luhut B Panjaitan, Ryamizard Ryacudu, Jonny Lumintang, Tyasno Sudarto, Albert Inkiriwang, HBL Mantiri, Fachrul Razi, Adolf Rajagukguk, Theo Syafei, Soebagyo HS, Agus Widjojo, Suedi Marrasabessy, Muchdi PR Soemardi, dst.

Para jenderal ini khususnya SBY, Hendropriono, Luhut Panjaitan, Sutiyoso, Agum Gumelar, Agus Widjojo sejak 2007 berkolaborasi dengan CSIS (Center for Strategic and International Studies), untuk mempersiapkan proksi menjadi presiden Indonesia sebagai suksesor SBY pada tahun 2014.

CSIS adalah lembaga pemikir dan perumus kebijakan pemerintahan Suharto sejak 1971 sampai 1990. Di samping Ali Murtopo, Sudjono Hoemardani dan Daoed Joesoep, CSIS yang digagas oleh Pater Beek-Pastur Jesuit Katolik, juga dikendalikan oleh elit Katolik Tionghoa terutama Wanandi Bersaudara (Jusuf, Sofyan, Rudy dan Edward Wanandi).

Berbeda dengan opini publik yang sengaja diciptakan seolah-olah SBY dan Partai Demokrat beroposisi terhadap pemerintahan Jokowi, namun fakta yang ada menmbuktikan sebaliknya: CSIS - SBY - Kelompok Jenderal Merah - Cukong adalah penguasa sebenarnya di balik Jokowi.

Bahkan pemerintahan Jokowi 2014-2019 didominasi orang-orang SBY, antara lain: Moeldoko, Kepala Staf Presiden (mantan Panglima TNI era SBY Sri Mulyani, Menkeu (mantan Menko Ekononi dan Menkeu SBY) Darmin Nasution, Menko Ekonomi (Gub BI era SBY) Retno Marsudi, Menlu (Dubes dan anggota TGF Munir) Perry Warjiyo, Gub BI (Dir Analis dan Kebijakan BI - Bail Out Bank Century) Wimboh Santoso, Ketua OJK (Dir Analis dan Kebijakan BI - BO Bank Century) Hadi Tjahjanto, Panglima TNI (Sesmil SBY) Agus Rahardjo, Ketua KPK (Kepala LKPP era SBY) Anfasa Moeloek, Menkes (kandidat Menkes era SBY) Suhadi Alius, Kepala BNPT (Kabareskrim era SBY) Agus Widjojo Gubernur Lemhanas (Kaster TNI suksesor SBY) Lukman H Saefuddin Menteri Agama (ex Menag SBY) Amien Sunaryadi Kepala BP Migas (ex Wakil Ketua KPK era SBY).

Mereka semua punya hubungan sangat erat dengan SBY. Seorang Dubes negara ASEAN pernah sambil bercanda mengatakan Pemerintah Jokowi adalah Pemerintah SBY jilid III. Terlepas rencana SBY mengusung AHY sebagai cawapres pendamping Jokowi digagalkan PDIP dan tawaran jadi cawapres pendamping Prabowo dipatahkan Sandiaga Uno dengan Edwin Suryadjaja dan James Riady di belakangnya, SBY memiliki peran sangat penting dan signifikan dalam pilpres 2019 khususnya dalam menentukan paslon mana yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2019 mendatang.

Sebagai mantan Presiden dua periode yang dua kali memenangkan pilpres sebelumnya, SBY memiliki pengalaman, sumber daya, teknologi, jaringan dan kemampuan untuk memenangkan capres tertentu.

Boleh jadi, SBY hengkang dari palson Jokowi - Maruf Amin karena kegagalan AHY. Namun, harus diingat bahwa keputusan Jokowi memilih Maruf Amin sebagai cawapres adalah atas saran dan ‘perintah’ SBY. Jika nanti Jokowi ternyata dapat memenangkan pilpres 2019, SBY pasti sudah punya cara untuk menyingkirkan PDIP dari pusat kekuasaan dan kembali berkuasa bersama CSIS-Jenderal Merah di balik Jokowi.

 KPK Senjata Utama Pemenangan Pilpres Jokowi
Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang menyasar ke Billy Sindoro, PT Meikarta anak perusahaan Lippo Grup, diduga merupakan upaya SBY, Jenderal Merah dan CSIS untuk menarik kembali kubu James Riady agar membantu kemenangan Jokowi pada pilpres 2019. Kita mengetahui sejak Ahok dipastikan tidak dapat diusung sebagai cawapres Jokowi, secara bertahap James Riady dan para cukong menarik dukungannya dari Jokowi. Satu hal yang jarang diketahui publik adalah hubungan yang kurang harmonis antara kubu James Riady yang mengusung agenda Kristen dengan Wanandi Bersaudara - CSIS yang mengusung agenda Katolik.

KPK periode 2015-2019 seperti halnya KPK periode sebelumnya adalah alat politik dan senjata andalan kubu Jokowi dalam memenangkan Pilpres. Banyak orang terkecoh menganggap SBY tidak mengendalikan KPK, baik KPK periode 2015-2019 mau pun periode sebelumnya. Anggapan itu salah besar. Sejak pembentukannya, SBY selalu mengendalikan KPK, termasuk KPK periode 2010-2014 yang seolah-olah menyerang SBY dan Partai Demokrat, padahal ditunggangi SBY untuk membersihkan partai Demokrat dari kubu Anas Urbaningrum. Pada periode 2010-2014 SBY menerapkan strategi False Flag, di mana KPK diarahkan SBY menyerang partai dan menteri-menterinya agar posisi politiknya tidak terbaca lawan dan pembersihan Partai Demokrat dapat sepenuhnya dijalankan.

Dengan keberadaan Agus Rahardjo sebagai Ketua KPK, dan sebelumnya Taufikurahman Ruki selaku Pjs Ketua KPK, SBY sepenuhnya mengendalikan KPK bersama-sama Luhut Panjaitan dan CSIS.

Mungkin masih ada yang ingat bagaimana upaya SBY menghalangi Pansus DPR Hak Angket KPK  yang dimotori Golkar dan PDIP. Di tengah posisi KPK yang sangat genting dan tersudut, SBY tampil ke depan sebagai pembela KPK. Entah bagaimana caranya, yang pasti SBY berhasil menggagalkan maksud dan tujuan Pansus Hak Angket terhadap KPK, sehingga tidak ada perbaikan dan pembenahan terhadap KPK sebagai hasil dari temuan Pansus DPR.

KPK sejak pendiriannya dibidani oleh Menko Polhukam SBY. Ketua KPK pertama Taufikkurahman Ruki adalah deputi menko polhukam SBY. Wakil Ketua KPK saat itu seperti Amin Sunaryadi adalah kaki tangan SBY. Tak pernah sekali pun KPK lepas dari kendali  SBY, termasuk besannya sendiri Aulia Pohan 'terpaksa' jadi tersangka.

Sebagian dari kita terkecoh dengan hingar bingar tuduhan KPK kepada politisi Demokrat Roy Suryo beberapa waktu lalu. itu adalah tipuan. Tabir asap  yang sengaja disebarkan untuk menutup fakta sebenarnya: SBY Pengendali KPK.


SBY Kuasai Jawa
Kemenangan Ridwan Kamil dan Khofifah Indraparawansa di Pilkada Jawa barat dan Jawa timur adalah peran besar SBY.  Di luar pengetahuan publik, kepastian kemenangan Ridwan Kamil di Pilkada Jawa Barat adalah hasil operasi kerja SBY dan orang kepercayaannya seperti Dino Patti Djalal. Misi SBY menggagalkan Sudrajat menjadi Gubernur Jawa Barat diraih melalui banyak kecurangan perhitungan suara dan dipastikan dengan kesediaan PKS melakukan kompromi - negosiasi dengan kubu Ridwal Kamil, yang difasilitasi SBY.

Di Jawa Timur, dua orang kepercayaan SBY yaitu Soekarwo dan La Nyalla Matalitti all out memenangkan Khofifah Indraparawansa. Dukungan SBY kepada Khofifah selain untuk memaksimalkan suara NU Jawa Timur ke Jokowi, juga untuk menebus 'dosa' terhadap Khofifah yang dua kali dikerjai habis-habisan oleh SBY-Soekarwo-La Nyalla Matalitti di dua pilkada Jatim sebelumnya. 

Sama halnya dengan kemenangan Ganjar Pranowo yang didukung SBY di Pilkada Jawa Tengah, setidaknya dukungan dalam bentuk perlindungan hukum kepada Ganjar dari jeratan tersangka KPK, di mana Ganjar adalah salah satu penerima suap proyek EKTP dan SBY adalah salah satu pengendali KPK bersama Luhut dan CSIS.

Dinamika politik sejak Oktober 2018 menuju 17 April 2019 memang menunjukan gejala peningkatan dukungan rakyat terhadap Prabowo-Sandiaga Uno. Di atas kertas, jika konstelasi politik nasional tidak berubah, kemungkinan besar Prabowo-Sandi akan menang Pilpres 2019.

Apakah peluang Prabowo - Sandiaga menang akan dibiarkan saja oleh SBY atau dihalangi dengan segala cara agar Prabowo gagal lagi terpilih menjadi presiden seperti dilakukan Presiden SBY pada pilpres 2014 lalu?

Tanpa bantuan besar Presiden SBY, sudah pasti Jokowi-Ahok kalah di Pilkada Jakarta 2012 dan Jokowi-JK tidak akan memenangkan Pilpres 2014 lalu.

Bagaimana cara SBY atau kubu Jokowi-Maruf Amin mengalahkan Prabowo-Uno pada Pilpres 2019 mendatang? Di atas kertas memang Prabowo pasti menang karena terjadi krisis luar biasa kepercayaan dan dukungan terhadap Jokowi. Namun, dalam politik kemungkinan dapat terjadi.

Kekuatan pendukung yang dimiliki Jokowi sekarang diperkirakan hanya tinggal 10% dari kekuatan dukungan pada 2011 – 2014. Tidak ada lagi kekuatan luar biasa besar dari konspirasi global pimpinan Amerika Serikat dan China yang gencar mengobarkan perang asimetrik dan perang proksi terhadap Indonesia, tidak ada lagi belasan negara sekutu dan persemakmuran berada di belakang Jokowi, tidak ada lagi kekuatan komunitas Cina diaspora seluruh dunia dan komunitas tionghoa Indonesia yang habis-habisan mendukung Jokowi-Ahok 2011-2014 untuk memenangkan Pilkada Jakarta 2012 dan Pilpres 2014.

Juga tidak ada lagi Presiden SBY baik dalam kapasitas presiden saat itu, atau dalam kapasitas pribadi sekarang yang total mendukung kemenangan Jokowi. Dan tidak ada lagi ratusan juta rakyat Indonesia korban tipu daya pencitraan palsu yang disebarkan masif dan kontinu selama bertahun-tahun meracuni benak dan hati rakyat Indonesia.

Lalu, mengapa masih ada yang memprediksi Prabowo akan kalah pada pilpres 2019 mendatang? Apa dasar pemikiran sehingga menimbulkan prediksi itu?

Suara Rakyat Vs Suara 
KPU Meraih dukungan dan suara mayoritas rakyat pemilih belum tentu memastikan kemenangan pilpres. Substansi dari pilpres adalah penetapan pemenang pilpres oleh KPU berdasarkan hasil perhitungan suara nasional secara manual. Hasil perhitungan suara pilpres ditentukan banyak faktor. Juga banyak celah dapat dimanfaatkan untuk mencurangi hasil suara pilpres: Penetapan jumlah pemilih pada DPT yang jauh di atas jumlah pemilih Indonesia sebenarnya.

Selisih kelebihan jumlah pemilih pada DPT 2009 dan 2014 mencapai 30-40 juta pemilih. Penggunaan puluhan juta suara pemilih siluman untuk memenangkan capres tertentu bukan merupakan hal sulit bagi SBY yang sudah “tiga kali” berpengalaman memenangkan pilpres (2004, 2009 dan 2014).

Jika nanti akhirnya KPU menetapkan jumlah pemilih pada DPT 2019 lebih dari 160 juta pemilih, sebaiknya Prabowo-Sandiaga tidak usah capek-capek, buang waktu, uang, tenaga dan pikiran hanya untuk kalah dicurangi. Sama halnya jika KPU memutuskan pemilih yang tidak tercantum dalam DPT dibolehkan memilih dengan menunjukan EKTP, Suket atau sejenisnya. Lebih baik, tidak usah ikut pilpres karena pasti jadi korban pencurangan kubu lawan.

Bahkan, jika DPT Papua tetap berjumlah 3,5 juta pemilih sementara penduduk Papua total hanya 3,3 juta jiwa dengan jumlah pemilih yang berhak berdasarkan UU tidak leboh dari 1,8 juta pemilih, lebih baik katakan “Tidak !” kepada Pilpres 2019.

Alangkah bodohnya Prabowo dan seluruh rakyat Indonesia jika manut saja dijadikan korban penipuan dan menjadi legitimasi para penjahat politik berkuasa melalui pemilu-pilpres yang curang. Realitas Politik Tiga bulan lalu, menjelang pendaftaran pasangan calon pilpres di KPU beberapa kolega dari luar negeri bertanya apakah mungkin Jokowi dapat terpilih kembali di pilpres 2019 dan menjabat presiden untuk periode kedua.

Pertanyaan para kolega itu didasarkan pada pengamatan mereka konstelasi dan dinamika politik domestik Indonesia dan trend perkembangan global. Di dalam negeri, petahana Presiden Jokowi menghadapi resistensi dari rakyat Indonesia yang eskalasinya terus meningkat. Jargon (2019) “Ganti Presiden” atau “Presiden Baru” yang dimotori politisi dan kader PKS secara efektif menimbulkan gelombang besar dari Sabang sampai Merauke.

Ustad Abdus Somad seolah menjadi Panglima Perang yang mengumandangkan semangat tersebut meski sekali pun dari mulutnya tidak pernah terucap kata presiden baru atau ganti presiden. Ustad asal Riau ini pun kemudian diposisikan sebagai ‘musuh politik’ dan ‘ancaman nyata’ oleh kubu petahana.

Entah apa sebabnya, aksi dakwah Ustad Abdus Somad diinterprestasikan secara sempit oleh kubu Jokowi sebagai gerakan konsolidasi umat Islam untuk menentang Jokowi. Sebaliknya, entah mengapa safari dakwah beliau seolah menjadi sosialisasi dan mobilisasi umat untuk perlawanan terhadap Jokowi. Kedua interprestasi dari dua kubu berlawanan: pro Jokowi vs anti Jokowi ini mendapatkan justifikasinya dari standar operasi dan prosedur (SOP) atau protap (prosedur tetap) aparat kepolisian setiap kali harus menyikapi acara dakwah Ustad Somad di seluruh Indonesia.

Gelombang 2019 Ganti Presiden Riak yang sudah menjelma menjadi gelombang sebagai dampak safari dakwah UAS menjadi semakin besar dengan penyelenggaraan aksi deklarasi “2019 Ganti Presiden atau 2019 Presiden Baru” yang dimotori sejumlah aktivis dan seniman/budayawan senior: Ratna Sarumpaet, Neno Warisman dan Emha Ainun Najib adalah sebagian tokoh menonjol dalam gerakan ini. Dinamika politik di segmen media sosial terbukti sangat mempengaruhi opini dan persepsi publik dalam menyikapi pilpres 2019 mendatang.


Gerakan Melawan Pembodohan dan Kebohongan
Berbeda dengan situasi menjelang pilkada Jakarta 2012 dan pilpres 2014 di mana opini media sosial hampir sepenuhnya dikendalikan kubu Jokowi (dan Ahok), menjelang pilpres 2019 mendatang, opini media sosial dapat dikatakan didominasi kelompok pendukung gerakan ‘2019 Ganti Presiden’ atau kubu Prabowo jika kita dapat menyebutnya begitu.

Tidak dapat disangkal peran besar seorang filsuf (kalau boleh disebit sebagai filsuf) Rocky Gerung yang membuktikan predikatnya sebagai filsuf dengan konsistensinya dan kemampuannya menjelaskan berbagai isu dan fenomena sosial politik yang muncul dan berkembang di tengah masyarakat secara jernih, lugas, logis, sederhana dan terpenting, disampaikan dengan gaya bicara yang menarik dan enak didengar publik. Dengan talenta dan penguasaannya di bidang filosofi, Rocky Gerung secara cepat tampil menjadi ‘ikon kebenaran’, tokoh rujukan publik jika menghadapi kebingungan akibat serangan hoax dan opini sesat.

Pencerdasan vs Pembodohan Bangsa Sekarang ini mungkin mayoritas rakyat Indonesia sudah menyadari betapa hebat dan masifnya upaya pencitraan Jokowi (dan Ahok) yang terjadi selama tahun 2011-2014, sehingga mayoritas rakyat dengan mudah diperdaya citra palsu yang melekat pada sosok Jokowi (Ahok).

Kebangkitan kesadaran publik dari sihir pencitraan palsu yang selama bertahun-tahun ditanamkan di benak pikiran rakyat Indonesia antara lain dipicu penyebaran informasi secara konsisten dan ajeg oleh pihak tertentu yang mengungkap kepalsuan dari pencitraan Jokowi (dan Ahok) melalui media sosial dan media online, di antaranya yang paling menonjol adalah Triomacan2000 (TM200).

Kelompok komunitas intelijen publik ini gencar menelanjangi semua kepalsuan pencitraan Jokowi dan Ahok dengan data dan informasi akurat.Termasuk menjadi orang pertama yang berani melaporkan Ahok ke polisi atas penghinaannya terhadap Muhammadiyah, yang diejek Ahok sebagai "munafik".

Meski pun pada akhirnya, Raden Nuh - tokoh utama dari gerakan ini kemudian ditangkap dan ditahan selama 5 tahun penjara dan dikirim ke penjara Nusakambangan, Jawa Tengah, namun penyebaran informasi yang telah mereka lakukan selama hampir 5 tahun menjadi embrio kesadaran publik Indonesia.

Embrio ini kemudian berubah menjadi kesadaran ketika informasi dan tuduhan yang pernah disampaikan TM2000 mengenai Jokowi (dan Ahok) serta prediksinya terhadap situasi dan kondisi bangsa di era Jokowi yang pernah disampaikannya dulu, satu per satu terbukti menjadi kenyataan. Fakta inilah kemudian menjadi pemicu bangkitnya kesadaran rakyat bahwa selama hampir delapan tahun terakhir, telah menjadi korban, terperdaya kebohongan Jokowi (dan Ahok).

Rakyat semakin sadar, terbuka mata dan pikirannya terhadap upaya pembodohan bangsa yang secara terus menerus dilancarkan oleh pemerintah dan kubu Jokowi. Tidak dapat dipungkiri bahwa fakta-fakta kebenaran seputar Jokowi Ahok, yang sekarang beredar luas di publik, hampir semua berasal dari publikasi dan penyebaran yang dilakukan oleh Triomacan2000 bersama jaringan komunitas intelijen publiknya. Ibarat Bank Data, publik hanya perlu menekan tombol yang tepat dan memasukan kata kunci untuk mengetahui atau mendapat fakta sebenarnya mengenai Jokowi Ahok.

Faktor-faktor domestik seperti diuraikan di atas, menjadi penyebab berubahnya kecenderungan rakyat terhadap pilpres 2019, dan mendorong timbulnya pertanyaan kolega dari luar negeri yang pada intinya meragukan Jokowi dapat terpilih kembali pada pilpres 2019 mendatang.

 Konstelasi Politik Global Globalisasi atau dunia tanpa batas negara dan suku bangsa sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi, menempatkan pengaruh asing terhadap politik domestik pada sebuah negara menjadi semakin besar dan tidak bisa dihindarkan. Pengaruh asing ini semakin signifikan terhadap negara-negara penganut demokrasi liberal seperti Indonesia, di mana posisi presiden dan kepala daerah ditentukan melalui pemilihan langsung, dengan mekanisme pemilu, pilpres dan pilkada. Indonesia semakin rentan terhadap intervensi asing dengan terjadinya perubahan atau amandemen UUD 45 khususnya pasal 1 dan pasal 6, yang memberi definisi baru pada kedaulatan rakyat dan Indonesia asli.

 Sejak amandemen konstitusi, pintu terbuka luas bagi pihak asing untuk melakukan intervensi atau melancarkan agenda politik mereka di Indonesia khususnya pada setiap pemilu, pilkada dan pilpres. Intervensi asing terhadap pemilu, pilkada dan pilpres Indonesia sangat kuat terasa pada pilkada Jakarta 2012, pemilu dan pilpres 2014, di mana konspirasi global dengan Amerika Serikat dan China sebagai panglima dengan mudah mengacak-acak kedaulatan rakyat melalui perang asimetrik dan perang proksi yang mereka lancarkan di Indonesia.

Jokowi terpilih menjadi presiden dan ahok kemudian menjadi gubermur Jakarta adalah sebagian dari hasil kemenangan konspirasi global dalam perang asimetrik dan perang proksi. Perubahan politik global secara drastis terjadi pasca kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton pada pilpres AS Nopember 2016. AS – China yang sebelumnya merupakan sekutu – mitra erat berubah menjadi pihak bermusuhan dalam politik, ekonomi dan militer. Perubahan ini otomatis membubarkan konspirasi global yang sebelumnya memiliki agenda politik tertentu di Indonesia melalui Jokowi-Ahok. Perubahan konstelasi politik global inilah yang juga mendorong munculnya pertanyaan kolega dari luar negeri yang meragukan peluang Jokowi untuk dapat terpilih kembali pada pilpres mendatang.

Namun, semua uraian di atas lebih tepat untuk menggambarkan situasi dan kondisi politik Indonesia pada tiga bulan lalu. Sekarang, situasi dan kondisinya menunjukkan gejala sebaliknya: Keunggulan Prabowo atas Jokowi perlahan mengecil dan mulai membuka peluang Jokowi untuk dapat mempertahankan posisinya sebagai capres petahana yang dapat mengalahkan Prabowo pada Pilpres 2019 mendatang.

Minggu, 28 Oktober 2018

Rahasia Kemenangan Pilpres





Dunia politik terutama menyangkut pemilihan presiden adalah ibarat koloseum di mana kita bisa melihat segala macam gladiator bertarung, membantai lawan-lawannya dengan menggunakan segala cara: “Hidup atau mati, dibunuh atau membunuh”.

Dunia politik khususnya jika sudah menyangkut pemilihan presiden sesungguhnya adalah medan perang zonder alat tempur, meski pun realitas dunia politik itu sendiri tidak terlepas dari penggunaan kekerasan, termasuk pembunuhan - hal mana yang dilarang secara hukum (sehingga jika terpaksa, dilakukan secara diam-diam).

Anda boleh tidak sepakat, menentang kekerasan dalam politik yang pada hakikatnya manusiawi dalam arti sesuai kodrat manusia yang ingin meraih kekuasaan. Sebelum demokrasi dikenal dan diterapkan sebagai mekanisme yang lebih beradab, perebutan kekuasaan selalu dilakukan melalui cara perang. Pemenang menjadi penguasa atas pecundang.

Dalam sistem demokrasi, kandidat melawan dan menghancurkan musuh mereka dengan panah argumen. Beberapa orang menggunakan tombak suap atau todongan senjata rahasia kotor pihak lawan.

Ada yang memilih pedang tumpul ketimbang melakukan hal yang Benar. Kadang-kadang seorang politisi dengan senang hati mengabaikan semua persenjataan konvensional dan memenangkan pertempuran atau perang dengan tipu daya licik seperti manipulasi hasil perolehan suara. Singkatnya apapun yang dilakukan kandidat dianggap sah dan legal sepanjang tidak ketahuan.

Di Indonesia, senjata paling ampuh dalam memenangkan pilpres dan pemilu adalah KPK. Sejak 2009 KPK ditunggangi kepentingan pihak tertentu untuk mendapatkan dukungan  partai politik sebagai pengusung tokoh tertentu sebagai capres, sebagai alat menjatuhkan pihak lawan, mengkriminalisasi lawan politik, menyandera politisi partai, anggota DPR, timses capres, hakim MA sampai hakim konstitusi.

Kemenangan Jokowi pada pilpres 2014 di samping menunggangi KPK, para tokoh di balik pencapresan Jokowi, juga menggunakan KPK untuk menghancurkan citra Islam, citra politisi Islam dan partai politik Islam sejak tahun 2010 sampai pelaksanaan pilpres 2014.

Untuk mendapatkan dukungan partai pengusung, para elit yang menjadi otak kemenangan Jokowi, memanfaatkan KPK untuk memaksa partai politik mengusung pencapresan Jokowi di pilpres 2019. Partai, KPU, MK, DPR, MA, Kepala Daerah, tokoh-tokoh tertentu sampai cukong pun menjadi sandera kasus korupsi oleh KPK untuk kepentingan memenangkan Jokowi.

Di Amerika, Kanada, Eropa Barat, Asia Timur dan Australia praktek penyanderaan pihak tertentu oleh institusi penegak hukum untuk memenangkan sebuah pemilu atau pilpres tidak pernah terjadi.

Kasus intervensi Rusia, sabotase Wikileas atau campur tangan China untuk mempengaruhi pilpres di Amerika Serikat hanya terbatas pada penyebaran informasi dan donasi ilegal kepada timses salah satu capres AS.


Membalikan Keadaan
Di atas kertas,  pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1980 tampak seperti pertarungan David versus Goliath. Petahana Jimmy Carter, politisi kawakan Partai Demokrat menghadapi aktor kelas dua yang memasuki masa pensiun bernama Ronald Reagan. Rasanya, semua babak dan tahapan pilpres AS 1980 akan didominasi Carter dengan mudah, sekaligus menangkis serang kritik media dan publik atas penyanderaan ratusan warga di kedutaan besar AS di Teheran oleh milisi pro penguasa Iran.

Namun kampanye pilpres 1980 terbukti sengit. Secara mengejutkan, Reagan tampil menarik, taktis dan memiliki jawaban atas semua pertanyaan lawan. Reagan menjelma bak politisi kawakan yang memenuhi harapan publik. Kepada publik Amerika, Reagan menjanjikan pemulihan harga diri dan kebanggaan Amerika. Dia bersumpah melindungi setiap nyawa warga Amerika dari tindakan kekerasan dan ancaman pembunuhan dari pihak asing: “Sudah saatnya penyelesaian masalah Amerika mengadopsi cara-cara seperti tayangan film Hollywood”, janji Reagan serius namun dianggap sangat menghibur rakyat.

Pada akhir kampanye, Carter dan Reagan nyaris sama kuat. Tetapi ada satu peristiwa besar yang tersisa: Debat Final antara Capres.

Acara ini dikemas glamor, disiarkan langsung ke seluruh penjuru Amerika, persis seperti :”Gala Show Muhammad Ali”. Semua mata dan perhatian publik Amerika terpaku pada acara Debat Final Capres.

Carter mempersiapkan catatan debat secara sempurna: Dia telah menyuruh stafnya habis-habisan dengan mengerahkan seluruh sumber daya untuk membuat buku saku pintar- ringkas, sebagai ‘kitab sucinya’ pada saat debat berlangsung.

Di dalam buku saku pintar ringkas itu mencakup seluruh pokok materi, strategi debat, lengkap dengan gaya bicara dan tekanan kata yang harus dihafalnya. Semua pihak sepakat, sebelum debat dimulai, Carter jauh unggul di atas angin dalam persepsi publik.

Ketika debat capres dimulai, Reagan terkesan sangat mudah mendapat jawaban sempurna atas semua pertanyaan. Seolah semua familiar bagi Reagan: Dari isu kebijakan luar negeri sampai masalah aborsi. Bahkan Reagan lebih jauh lagi menyampaikan semua jawaban, tanggapan, kritik dan serangannya kepada Carter secara sangat metodis, terstruktur, detail, fokus dan tepat sasaran. Carter tampak bagai seorang murid di depan guru.

Semakin lama debat berlangsung, Reagan terlihat semakin bertenaga dan semangat. Sebaliknya, Carter pucat pasi, frustasi, mata kemerahan seperti menahan tangis kesedihan.

Apa pun yang ditanyakan Carter, Reagan tahu jawabnya. Bahkan, Reagan juga tahu kata apa atau ucapan yang akan keluar dari mulut Carter. Malam itu, Carter seolah-olah melawan dirinya sendiri di depan cermin: Reagan tahu persis apa yang akan dikatakan Carter, kata demi kata !

Hasil debat malam itu mengubah sejarah Amerika. Aktor kelas dua Hollywood yang memasuki masa pensiun karir layar lebar kemudian menjadi orang nomor satu Amerika. Tidak itu saja, Ronald Reagan tercatat sebagai presiden Amerika terpopuler dan mendapat dukungan publik tertinggi sepanjang masa pemerintahannya selama dua periode.


Rahasia Reagan
Pada hari-hari sebelum debat capres,  timses Carter kehilangan salinan kertas catatan yang akan dituangkan ke dalam buku saku pintar ringkas Carter. Tanpa curiga sedikit pun, beranggapan kertas-kertas itu salah letak atau terbang disapu angin, semua bekerja seperti biasa.

Salinan kertas-keras yang hilang itulah sumber malapetaka dan menjadi mimpi buruk Carter selama bertahun-tahun. Tangkisan tepat, pukulan mematikan dari Reagen kapada Carter selama perdebatan capres berlangsung hasil dari salinan kertas yang hilang.

Katakan saja, salah satu staf Reagan telah "menemukan" buku strategi Carter yang hilang,  menghadiahkannya kepada Reagen.

Buku saku itu  menawarkan pintu masuk ke kepala Carter. Reagan dan timsesnya langsung menyesuaikan strategi baru: Mempelajari materi, program, visi dan misi Carter. Mengupas dan menganalisa seluruh kelemahan dan hambatannya, melatih diri dalam menjawab pertanyaan yang akan diajukan Carter, merumuskan bagaimana memberi pukulan mematikan ke rahang dan kepala Carter, sehingga memberi kemenangan KO untuk Reagan.

Sebagai aktor senior, Reagan punya bakat cepat menguasai skenario, peran dan adegan. Improvisasi yang dilakukan membuat pesonanya yang memikat semakin melenakan publik.

Seminggu kemudian: Carter KO, Reagan dinyatakan sebagai pemenang.

Meskipun fakta di balik kemenangan gemilang Reagan pada debat capres akhirnya terungkap,  kebenaran "Debategate" itu tidak pernah menimbulkan kerugian atau dampak signifikan bagi Reagan.

Sementara itu, Jimmy Carter selama bertahun-tahun masih menjadikan klaim bahwa buku yang hilang itu benar-benar telah mengorbankan dirinya dalam pilpres. Respon publik Amerika sangat logis dan sederhana: “Lain kali, jika punya buku atau kertas catatan, harap simpan di lemari besi terkunci, jangan di perpustakaan umum !”


Modus Reagan Ditiru Jokowi
Sehari menjelang debat capres hari pertama pada pilpres 2014, publik Indonesia dikagetkan terungkapnya pertemuan rahasia antara komisioner KPU Hadar Nafis Gumay dengan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan. Pertemuan di Satay House Senayan Jakarta yang juga dihadari Komjen Pol Budi Gunawan (sekarang Kepala BIN) ditenggarai sebagai usaha PDIP / Kubu Jokowi untuk mendapatkan bocoran materi dan pertanyaan yang digunakan dalam debat capres.




Maksud hati kubu Jokowi agar publik dapat dikecoh oleh penampilan Jokowi di debat capres dengan menutupi fakta sebenarnya bahwa wawasan, pengetahuan dan penguasaan capres Jokowi pada masalah kerakyatan, bangsa dan negara sangat minim.













Tawa Jokowi Tangis Indonesia







Terlalu banyak cacat moral, hukum, ekonomi dan politik terjadi selama pemerintahan Jokowi 2014-2019 sehingga kinerja jeblok, korupsi, pelanggaran hukum, penyimpangan, penyalahgunaan kekuasaan, diskriminasi, fitnah, penindasan, kriminalisasi, kebohongan dan seterusnya yang dilakukan oknum pemerintah dan aparat, tidak lagi dianggap sebagai sebuah aib atau suatu hal yang memalukan. 

Tiba-tiba kita menjadi asing di negara sendiri. Tidak percaya bahwa kita sedang berada di sebuah negara bernama Indonesia, di mana kita sebagai rakyat hidup dan mati di tanah negeri ini. Luar biasa Jokowi menjadikan negeri ini tercabut dari akarnya, merosot moralnya, kacau kehidupan bangsa, terpecah belah rakyatnya, porak poranda hukum dan keadilannya. Tiba-tiba saja kita asing di negeri sendiri. Luar biasa Jokowi !

Dari satire klasik: “Setiap kematian adalah tragedi, ribuan kematian adalah statistik”, kita dapat menggubahnya sesuai dengan fenomena luar biasa yang terjadi pada bangsa Indonesia.

 “Satu bukti kegagalan Jokowi adalah tragedi, ratusan kegagalan Jokowi adalah statistik”.

Menjelang tujuh tahun Jokowi berada di episentrum bencana ipoleksosbudhankam, rakyat Indonesia belum semua tersadarkan dengan realita di depan mata. Sebagian dari masyarakat Indonesia – dengan dasar pemikiran dan pertimbangan sendiri, dapat mengakomodasi, menolerir bahkan mendukung pemerintah semacam ini. Ada yang menyebut mereka sebagai kelompok minoritas radikal, ada mengklaim diri sebagai kelompok liberal, banyak yang menuding mereka tak lebih dari para chauvinis, yang melihat penerintahan Jokowi sebagai kesempatan emas mereka untuk berada di atas kelompok masyarakat yang lain, khususnya di atas mayoritas Islam dan pribumi.

Selalu ada banyak muncul pihak dan golongan oportunis, mengeruk keuntungan di tengah penderitaan dan kesusahan dialami saudara sebangsanya sendiri: mayoritas Islam dan pribumi Indonesia. Divide et Impera & Lesser Evil Pecah belah dan kuasai. Konsolidasi kelompok minoritas, tumbuhkan motif dan oportunity untuk kembali menjadi bagian elit bangsa/negara seperti pada awal masa ORBA hingga tahun 1990. Pecah belah umat Islam, tawarkan kesepakatan yang sulit ditolak kepada anasir Islam oportunis. Strategi ini diterapkan secara simultan dengan doktrin ‘Lesser Evil’ ala Pater Beek, yang terbukti sukses dan efektif membenturkan pemerintah/negara dengan mayoritas Islam Indonesia.




Tidak ada beda era Jokowi selama hampir lima tahun terakhir ini dengan era Suharto 1967-1988 di mana Ali Murtopo, Daud Joesoef, Moerdani CSIS sebagai otak intelektualnya: menggeser secara bertahap posisi umat Islam Indonesia, dari pemilik negara Indonesia yang sah, menjadi musuh negara yang harus ditumpas. Berdasarkan perspektif ini, maka adalah sebuah kekeliruan jika kita menilai Jokowi telah gagal total.

Sebaliknya, semua kekacauan sosial politik, kerusakan hukum dan keadilan, kemerosotan ekonomi dan moral bangsa, adalah prestasi luar biasa kinerja Jokowi. Pemerintah Jokowi katalisator bagi terwujudnya hegemoni kelompok tertentu atas mayoritas Islam dan pribumi di Indonesia. Jokowi adalah akselarator penguasaan sumber daya dan kekayaan negara ke tangan kelompok tertentu yang terafiliasi dengannya.

Jokowi adalah operator luar biasa yang menjalankan agenda politik kelompoknya. Sebagai presiden, Jokowi diberi kekuasan dan kewenangan oleh konstitusi untuk berbuat apa saja di bawah koridor hukum. Namun, dalam melaksanakan tuga dan kewajibannya sebagai presiden, rakyat Indonesia menjadi saksi dan korban dari begitu banyak pelanggaran dan penyimpangan. Politik Divide et Impera dan Doktrin Lesser Evil terbukti efektif mengukuhkan Jokowi sebagai penguasa tanpa pengawasan dan teguran dari DPR, DPD dan MPR.

Semua lembaga negara telah dikooptasi oleh KPK-lembaga negara pemberantas korupsi yang sudah ditunggangi Jokowi-CSIS-Kubu Jenderal Binaan Murtopo/Murdani dan dijadikan sebagai alat penyandera, penekan dan penumpas semua pihak yang tidak sejalan dengan agenda politik mereka. Kegagalan Jokowi di mata rakyat adalah keberhasilan Jokowi di mata pendukung dan kelompok tertentu.

Sejak awal kemunculannya, Jokowi-Ahok telah menggunakan tirani opini sebagai senjata. Opini publik hasil rekayasa Jokowi cs yang disebarluaskan oleh mayoritas jaringan media nasional, didukung penuh aparat dan oknum petinggi Polri dan TNI. Maka lahirlah era kebodohan di Indonesia. Hiduplah kebohongan dan kemunafikan. Hancurlah hukum dan keadilan. Bangsa Indonesia berada di ambang tirani total minoritas atas mayoritas Islam dan pribumi.

Segala keributan sosial, gaduh di antara masyarakat, manuver oknum polisi, ormas Banser, oknum tionghoa sampai pembacokan oleh orang gila yang kerap terjadi selama 4 tahun belakangan ini juga ditengarai banyak pihak sengaja diciptakan untuk menimbulkan keresahan rakyat, mengalihkan perhatian dari praktek korupsi yang akan, sedang dan telah terjadi.

Keributan sosial diperlukan rezim ini agar mereka bisa korupsi dan melanggar hukum dengan tenang. Sedikitnya tercatat sekitar 20 temuan hasil pemeriksaan BPK yang menimbulkan kerugian negara sangat besar namun luput dari perhatian rakyat karena teralih oleh segala macam keributan yang diciptakan oleh rezim Jokowi, di antaranya:

  • Penggunaan uang APBN sebesar Rp5,22 triliun untuk belanja subsidi listrik yang tidak dialokasikan atau dianggarkan sebelumnya dalam APBN dan APBN P 2017. Dengan kata lain, ada perampokan uang negara sebesar Rp5,22 triliun oleh oknum berkedok pemerintah.
  • Kolusi Menteri Kominfo dengan perusahaan penyelenggara dan pengguna hak frekuensi penyiaran sehingga kewajiban para perusahaan penyiaran dan telekomunikasi sebesar Rp2,1 triliun yang sudah sejak tahun 2016 menunggak, dengan sengaja tidak dilakukan tagihannya oleh Kementerian Kominfo. 
  • Penggunaan dana Public Service Obligation (PSO) – Universal Service Obligation (USO) pada BP3TI Kementerian Kominfo sebesar lebih Rp9 triliun untuk pembiayaan Proyek Palapa Ring, sangat kental unsur KKN karena proyek-proyek tersebut dikerjakan oleh beberapa perusahaan yang merupakan anak satu perusahaan induk (Moratelindo) tidak melalui tender/lelang melainkan penunjukan langsung. 
  • Proyek Pembangunan Bandara Baru Kulon Progo dengan total nilai proyek Rp10 triliun, pada pelaksanaan pembebasan lahan terindikasi mark up sehingga merugikan negara sedikitnya Rp1,7 triliun dari Kas BUMN PT Angkasa Pura I (Persero). Pelaksanaan konstruksi Bandara baru Kulon Progo dipastikan KKN karena dalam lelang pertama dan lelang ulang, memenangkan BUMN PT Pembangunan Perumahan (Persero) yang sama sekali tidak memenuhi persyaratan teknis berdasarkan dokumen lelang.
  • Belum termasuk kolusi dan korupsi di Bank BNI pada pemberian kredit untuk perusahaan telekomunikasi swasta sebesar Rp1,7 triliun yang tidak disertai collateral atau agunan kredit memadai. Di Bank BNI sendiri terdapat total lebih Rp 6 triliun kredit bermasalah/macet akibat KKN.




Sedikitnya lebih Rp54 triliun kekayaan negara jadi bancakan para koruptor berseragam pamong praja dan aparat. Semua korupsi ini hanya dapat dilakukan dengan tenang, aman dan sejahtera bila perhatian rakyat dari hari ke hari hingga pilpres mendatang disibukkan dengan keonaran yang diciptakan rezim dan antek-anteknya. Belum termasuk penggelapan barang bukti narkoba sitaan lebih satu ton dari operasi pemberantasan penyelundupan oleh oknum yang bernilai lebih Rp 3 triliun.


Suara Rakyat Suara Tuhan
Meningkatnya kesadaran rakyat terhadap jati diri dan posisi rezim Jokowi yang tidak bersahabat dan menjadi penindas mayoritas Islam-Pribumi, menimbulkan optimisme terwujudnya pergantian kekuasaan melalui pemilu-pilpres 2019 mendatang. Sampai akhir September 2018 sangat kuat keyakinan publik bahwa Prabowo – Sandiaga dan timsesnya akan dapat memantapkan dan meningkatkan dukungan rakyat untuk memenangkan pemilu 2019.

Survey di beberapa kota di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keinginan yang kuat untuk perubahan, kecuali di Kalimantan, Bali dan NTT yang meski mayoritas warga ingin perubahan namun keinginan tersebut belum cukup kuat untuk memastikan kemenangan Prabowo.

Begitu kencang angin perubahan, sehingga banyak kalangan memperkirakan Prabowo pasti menang. “Hanya kelengahan yang dapat menggagalkan Prabowo”. 

Keyakinan kuat atas kemenangan Prabowo di antaranya didasarkan pada: Perubahan konstelasi global, diawali dengan kemenangan Trump atas Clinton pada Nopember 2016 lalu. Praktis sejak 2017, kebijakan Amerika Serikat berubah total. Tidak ada lagi adikuasa China, AS dan sekutu-sekutunya yang memaksakan kehendak mereka seperti 2014 lalu: Jokowi harus menang.

China adalah sekutu erat AS di bawah pemerintahan Obama dan Clinton (Partai Demokrat), berubah menjadi “musuh besar” AS di bawah Trump, setidaknya musuh AS dalam perang dagang dan konflik Laut China Selatan. Selama 16 tahun (masa Clinton dan Obama) China menikmati konsesi politik dan ekonomi AS khususnya dalam bentuk dukungan AS terhadap agenda dan kepentingan Global China, termasuk kepentingan China di Indonesia.


Kilas Balik 2010-2014 
Pada 2008-2016 China – AS bersama seluruh sekutunya adalah pendukung terkuat Jokowi-Ahok. Singkatnya dapat disimpulkan bahwa kekuatan dunia internasional berada di belakang Jokowi-Ahok. Vatikan, Santamaria Network, Komunis internasional, China Diaspora Internasional dan lain-lain, berada satu barisan pendukung Jokowi-Ahok. Wajar jika Jokowi-Ahok dijuluki unstoppable sepanjang 2011-2016.

Namun meski demikian, sebagaimana diketahui bersama pada pilpres 2014 lalu Prabowo memperoleh dukungan rakyat sangat besar. Berdasarkan data dimiliki Prabowo – Hatta adalah pemenang pilpres yang sebenarnya dengan perolehan suara 53%. Sejak 2011 hingga menjelang pengumuman pemenang pilpres 21 Juli 2014, tekanan luar biasa ditujukan kepada Presiden SBY dan pemerintahannya dari luar dan dalam negeri guna memastikan Jokowi ditetapkan sebagai pemenang pilpres 2014.

Mantan Presiden Bill Clinton secara khusus menyempatkan diri mengunjungi Presiden SBY pada dini hari tanggal 21 Juli 2014 bertepatan dengan pengumuman pemenang pilpres 2014 oleh KPU. Senator dan Congressman AS secara khusus temui SBY sebelum pelantikan presiden baru. Bahkan SBY harus ke Washington DC temui Obama guna melaporkan tugas dan tanggung jawabnya mengantarkan Jokowi sebagai presiden RI sudah ditunaikan dengan baik.

Sikap Presiden SBY yang diam-diam membantu kemenangan Jokowi-Ahok pada pilkada Jakarta 2012 dilatarbelakangi ancaman dan tekanan luar biasa: di awali dengan pemberitaan di media terkemuka Australia ‘The Age’ dan ‘The Herald’ edisi 11 Maret 2011 berjudul “Wikileaks: SBY Abuse of Power” mengutip informasi yang sengaja dibocorkan kedubes AS di Jakarta guna memberi sinyal tekanan kepada SBY. Dilanjutkan dengan pemberitaan serupa di sejumlah media asing.

Di depan publik Presiden SBY protes keras kepada Dubes dan Pemerintah AS, di belakang SBY terpaksa melakukan kesepakatan rahasia dengan AS untuk mempertahankan kekuasaannya yang sedang terancam.



SBY terpaksa menuruti kehendak AS dengan membantu kemenangan Jokowi Ahok di Pilkada Jakarta 2012. Pasca insiden ‘The Age’ itu, Presiden SBY membuat berbagai keputusan strategis guna membantu kemenangan Jokowi Ahok: Resuffle Kabinet di antaranya mengganti Menpera Suharso Monoarfa dengan Djan Faridz, selanjutnya Faridz mengonsolidasi para pengembang Jakarta untuk mendukung kemenangan Jokowi-Ahok, dan seterusnya.

Khusus pergantian Menpera Suharso Monoarfa kader senior PPP dengan Djan Faridz yang tidak jelas keanggotaannya di partai PPP, sempat menimbulkan protes keras dari kalangan kader senior. Tekad SBY untuk mengamankan kemenangan Jokowi Ahok di Pilkada Jakarta hanya dapat terwujud dengan penempatan Djan Faridz sebagai menpera yang akan bertugas khusus memobilisasi dukungan politik dan uang dari para pengembang nasional. Dengan segala cara akhirnya, kehendak SBY disetujui PPP. Disebutkan Rp60 miliar uang dari Djan Faridz berpindah ke Suryadarma Ali sebagai harga pembelian kursi menteri perumahan rakyat.

SBY mempromosikan Mayjen Moeldoko, mantan Pangdam Siliwangi yang sudah disingkirkan ke Lemhanas pasca Kasus Operasi Sajadah, menjadi Wakasad, selanjutnya menjadi Kasad dan Panglima TNI. Mantan Spri Hendropriono ini mengamankan posisi Jokowi Ahok. SBY juga menempatkan paman Jokowi dari pihak Ayah: Irjen Pol Sutarman sebagai Kapolda Metro selanjutnya sebagai Kapolri.



Bantuan terbesar Presiden SBY terhadap Jokowi Ahok adalah memberi perlindungan hukum terhadap banyak kasus korupsi Jokowi – Ahok selama menjabat Walikota Surakarta dan Bupati Beltim serta ketika menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta. Tidak satu pun institusi hukum Indonesia berani usut kasus-kasus mereka.

Prabowo dan Partai Gerindra boleh saja mengklaim sebagai sponsor utama dan faktor dominan kemenangan Jokowi-Ahok di Pilkada 2012, namun tidak dapat dipungkiri peran besar SBY, meski untuk itu SBY harus mengkhianati partai dan kadernya sendiri di Pilkada Jakarta: Partai Demokrat adalah pengusung Cagub Fauzi Bowo dan Cawagub Nahrowy Ramly, di mana Ramly sendiri adalah ketua DPD Partai Demokrat Jakarta. Pengulangan kembali kisah lama ini untuk mengingatkan kita semua pada fakta yang ada sehingga tidak keliru dalam menentukan sikap ke depan.



Menjelang Pilpres 2014, pada akhir Mei 2013 SBY berkunjung ke Amerika. Agenda resminya adalah menghadiri penyerahan penghargaan sebagai Negarawan “Tokoh Toleransi Beragama Dunia” dari sebuah Yayasan Yahudi New York. Penyerahan penghargaan ini adalah kamuflase maksud dan tujuan kunjungan SBY ke Amerika, yaitu memenuhi undangan Obama yang disampaikan Scot Marceil Dubes AS di Jakarta pada awal Januari 2013.

Pertemuan SBY – Obama di Washington DC pada akhir Mei 2013 adalah terkait dengan mewujudkan agenda politik AS untuk menempatkan Jokowi sebagai Presiden RI. Presiden SBY diminta membantu sepenuhnya. Kesepakatan tercapai: SBY komit membantu penuh Jokowi jadi presiden RI, namun partai pengusungnya adalah PDIP dan minimal 1 partai islam. Saat itu SBY sudah dapat memastikan PKB akan menjadi partai koalisi pengusung Jokowi. Masalah krusial hanya pada PDIP yang kemungkinan besar menolak permintaan SBY dan AS agar mengusung Jokowi sebagai capres 2014: Hasil Munas PDIP di Bali 2010 mengamanatkan Megawati sebagai capres 2014 dan perjanjian Mega-Prabowo di Batutulis, Bogor menyebutkan komitmen Megawati akan mendukung Prabowo pada Pilpres 2014.

SBY minta bantuan AS untuk menekan PDIP jika upayanya melalui Taufik Kemas gagal. Wapres Budiono bertemu dengan Taufik Kemas suami Megawati di Acara Peresmian Museum Bung Karno di Ende, NTT pada 1 Juni 2013, dua hari setelah kesepakatan SBY-Obama di DC. Budiono menyampaikan pesan dari SBY kepada Taufik Kemas. Pada 4 Juni 2013 Taufik Kemas kembali ke Jakarta usai mengikuti acara di Ende, NTT. Keesokan harinya, 5 Juni 2013 Taufik menyampaikan pesan SBY yang diterima melalui Budiono: PDIP harus segera mengusung Jokowi sebagai capres. Presiden SBY komit membantu dari balik layar dan pemerintah AS memberikan dukungan penuh mewujudkan kemenangan Jokowi di pilpres 2014.




Megawati menolak permintaan SBY – AS. Selang 2 hari kemudian TK mendadak sakit parah, dibawa ke RS Singapore dan meninggal pada 8 Juni 2013. PDIP mengalami kekalahan di banyak Pilkada termasuk di Bali. Gerakan pendongkelan Megawati dari ketua umum PDIP bergulir di seluruh Indonesia. Semua ini tidak terlepas dari intervensi kekuatan Konspirasi Global dipimpin AS-China terhadap Indonesia. Situasi dan kondisi politik 2011-2014 tidak tampak pada 2017-2018 pasca peralihan kekuasaan dari Demokrat ke Republik melalui kemenangan Trump atas Hillary Clinton 4 Nopember 2016. Agenda utama AS – China menempatkan Jokowi sebagai Presiden RI 2014-2019 dan Jokowi Ahok sebagai Presiden – Wakil Presiden RI 2019-2024, selanjutnya Ahok sebagai presiden RI 2024-2034 semakin sulit diwujudkan pasca kekalahan Demokrat di Pilpres AS Nopember 2016.

Status Jokowi lebih merupakan proksi CSIS dan kelompok jenderal purnawirawan tertentu yang secara politik – historis adalah musuh politik Suharto. Absennya Ahok di pilpres 2019, menyebabkan dukungan China-Demokrat AS dan konglomerat tionghoa di luar kubu Wanandi bersaudara/CSIS terhadap Jokowi menyusut drastis. OTT suap Meikarta (Lippo) oleh KPK adalah salah satu upaya kubu Jokowi-CSIS-Jenderal Binaan Murtopo-Murdani untuk menarik dukungan James Riady dan konglomerat pendukung Ahok untuk mendukung Jokowi. Manuver KPK terhadap James Riady, memberi sinyal kuat bahwa target berikutnya bisa siapa saja di antara konglomerat pendukung Ahok yang tidak mendukung kemenangan Jokowi.

D


Di sisi lain, manuver KPK ini refleksi kepanikan kubu Jokowi. Kekuatan pendukung Jokowi sebagaimana diuraikan singkat di atas, sekarang relatif sudah tidak ada lagi. Kekuatan pendukung Jokowi menyusut hingga tinggal 10% dari sebelumnya (2010-2014). Oleh sebab itu, prediksi bahwa Prabowo akan memenangkan pilpres 2019 dengan selisih suara yang besar sangat mungkin terwujud.

 Namun, perkembangan terakhir menunjukkan gejala cukup mengkhawatirkan, momentum emas kemenangan Prabowo akan dapat saja kembali hilang. Kemenangan yang sudah di tangan lepas. Bukan semata-mata karena kehebatan pihak lawan , namun lebih merupakan kelengahan dan kelemahan dari timses Prabowo – Sandiaga sendiri. Jika hal ini terjadi, sungguh disesalkan karena tidak belajar dari kesalahan masa lalu. Kembali terperosok ke lubang yang sama. Kerugian terbesar bukan terhadap Prabowo atau Partai Gerindra, melainkan pada rakyat, bangsa dan negara Indonesia. Suatu hal yang rakyat semua tidak menginginkannya.

Rakyat, bangsa dan negara Indonesia dipastikan akan semakin hancur selama 5 tahun ke depan. Prioritas Prabowo – Sandiaga Waktu tersisa tinggal lima bulan lagi. Prabowo Sandi sebaiknya mempertimbangkan pengembangan timses sedemikian rupa hingga mencakup seluruh tupoksi (tugas pokok dan fungsi) ideal untuk memenangkan sebuah Pilpres. Tupoksi tambahan itu meliputi: Pengamanan terhadap independensi KPU, Bawaslu, KPK, MK, Kejaksaan, Polri, TNI dan seterusnya. Harus ada sebuah tim yang bertugas dan bertanggungjawab untuk memastikan netralitas KPU, Bawaslu, KPK, MK, Kejaksaan, Polri dan TNI. Pada 2014 lalu, para komisioner KPU tersandera oleh banyak kasus akibat menerima suap dari para kontraktor rekanan KPU pemenang lelang pengadaan KPU.

Juga penyanderaan tambahan terhadap Ketua KPU dengan ancaman penetapan status tersangka oleh Kejari Padang terhadap Endang istri Husni Kamil Manik Ketua KPU. Pengakuan almarhum Husni kepada para kerabat sebelum kematiannya, mengenai penyanderaan para komisioner KPU dan lain-lain, saat itu tidak bisa dilontarkan ke publik karena begitu kuatnya pengendalian dan kooptasi kubu Jokowi terhadap media mainstream dan medsos.



Pengungkapan itu juga tidak akan diproses hukum karena rezim SBY komit mencegah semua proses hukum yang dapat menghalangi kemenangan Jokowi JK. Sekarang situasinya berbeda dengan 2014 lalu. Media tidak lagi 100% dikendalikan kubu lawan. Artinya, segala bentuk penyimpangan dan pelanggaran hukum oleh KPU seharusnya dapat kita cegah. Prioritas utama adalah penetapan DPT 2019.

Prabowo harus mengerahkan seluruh sumber daya yang diperlukan untuk mencegah penambahan 31,97 juta pemilih baru yang diragukan keabsahannya ke dalam DPT 2019. Penetapan DPT adalah kewenangan KPU berdasarkan UU No.7/2017.

Apakah timses sudah melakukan upaya maksimal memberi penguatan dan dukungan kepada KPU agar dapat menepis intervensi pemerintah dan menetapkan DPT sesuai UU?

Apakah sudah ada dari timses yang mengawal dan menjaga KPU agar tetap independen, tidak terjerat kasus hukum khususnya dalam berbagai proyek pengadaan di KPU?

Apakah sudah ada dari timses yang memonitor dan mengawasi perilaku komisioner/pejabat KPU guna memastikan tidak terjadinya kolusi dengan kubu lawan?

Dan seterusnya.

Di samping DPT nasional yang harus dipertahankan seakurat mungkin, permasalahan DPT Papua juga sangat mengganggu. Jumlah warga Indonesia di Papua hanya 3,3 juta jiwa dengan jumlah pemilih 1,8 juta jiwa, KPU Papua telah menetapkan DPT Papua 2019 sebanyak 3,5 juta atau lebih 200% dari jumlah yang seharusnya.





Urgensi kehadiran timses dengan tupoksi menjaga independensi KPU harus menjadi concern Bapak Prabowo-Hashim. Urgensi kehadiran timses dengan tupoksi sama terhadap KPK, Bawaslu, MK, Polri dan Kejaksaan juga harus jadi perhatian. Pada 2013-2014 lalu, 8 hakim MK tersandera kasus hukum.

Penyidikan kasus suap Ketua MK Akil Muhtar oleh KPK, menemukan bukti yang cukup untuk menjerat 8 hakim MK lain turut menjadi tersangka suap. Namun, seperti diketahui bersama, faktanya adalah 8 hakim MK saat itu tidak dilibatkan dan tidak dijadikan tersangka oleh KPK.

Mereka, 8 hakim MK menjadi sandera KPK dan dipaksa untuk menuruti perintah KPK yaitu memastikan penolakan gugatan paslon pilpres Prabowo-Hatta terhadap kecurangan pilpres 2014.

Modus penyanderaan hakim MK oleh KPK seperti ini harus dipastikan tidak terjadi lagi sekarang pada Pilpres 2019

Juga harus dipastikan, tidak ada penyanderaan para Kepala Daerah, Komisoner KPU, Kapolri, Bawaslu, tokoh-tokoh kunci di timses PS dll oleh KPK. Jangan sampai terulang penyanderaan Zulkifli Hasan Bendahara Timses Prabowo Hatta 2014 dan beberapa tokoh kunci timses lalu oleh KPK melalui berbagai kasus korupsi: alih fungsi lahan hutan dll. Harus ada dari timses yang memastikan KPK independen dalam semua penanganan kasus hukum.

Memastikan kasus hukum yang ditangani KPK tidak terkait kepentingan memenangkan petahana. Hal yang sama diterapkan pada Polri dan Kejaksaan. Untuk memastikan kemenangan Prabowo, kehadiran timses yang khusus menjaga independensi lembaga negara dan pemerintah yang terkait dengan pemenangan pilpres harus direalisasikan secepatnya.

Kasus Ratna adalah contoh kelemahan mendasar timses yang ada sekarang dan ketidakmampuan dalam mengelola sebuah isu. Saya bersyukur banyak pihak di luar timses yang bersedia terlibat untuk membantu membalikkan keadaan. Prabowo sangat terbantu gerak cepat pendukungnya yang berada di luar timses untuk mengatasi dampak kasus Ratna yang sangat destruktif. Menghancurkan moral pendukung Prabowo. Oleh sebab itu, seluruh jaringan non timses secara cepat dan serempak tanpa diminta turut membantu mengubah opini publik terkait kasus Ratna.

Prabowo seharusnya pasti sudah menyadari kekuatan dahsyat jutaan pendukungnya yang aktif di luar timses, mereka bekerja tanpa pamrih. Semata-mata karena keikhlasan, ketulusan dan kecintaan kepada Prabowo. Ini adalah aset luar biasa, namun sayangnya tidak dikelola dengan baik. Ibarat tanaman, jika tidak dirawat dengan baik, kemungkinan besar mati atau layu. Tidak melihat ada usaha yang signifikan dari Prabowo dan timsesnya untuk merawat jutaan rakyat Indonesia yang setia, cinta, tulus dan ikhlas berjuang bersama Prabowo.

Prabowo sebaiknya sering diingatkan untuk menyampaikan terima kasih, apresiasi, pujian dan sejenisnya kepada puluhan juta bahkan lebih seratus juta rakyat Indonesia yang telah bersama beliau selama ini.

Apresiasi itu harus disampaikan secara terbuka dalam setiap kesempatan bicara di depan publik. Ini adalah salah satu contoh terbaik bagaimana memaintain pendukung. Pada pertarungan pilpres, kandidat butuh semua orang, secara ekstrem dapat diibaratkan timses ideal itu berjumlah 160-190 juta orang. Semua rakyat pemilih. Ini memang hanya metafora untuk menggambarkan bahwa sebagai capres, Prabowo butuh dukungan semua orang.

Satu musuh terlalu banyak. 100 juta teman belum cukup memastikan Prabowo menjadi Presiden RI 2019-2024. Kanalisasi untuk menampung semua pendukung harus dilakukan. Untuk timses inti, sebaiknya dibentuk secara khusus tim Alfa hingga tim Zulu dengan tupoksi khusus masing-masing. Sebagai model, timses yang pernah dibentuk SBY pada pilpres 2004 dan 2009 dapat dijadikan contoh. Lebih banyak tim yang bergerak di belakang layar.

Tim ini akan lebih efektif dalam mencapai target/tujuan. Di samping mencegah mereka dari sasaran kriminalisasi dan likuidasi kubu lawan. Maknanya adalah keterlibatan dan partisipasi rakyat sebanyak-banyaknya untuk memenangkan pilpres.

Garong Nusa: Politik Dua Kaki SBY di Pilpres 2019

Garong Nusa: Politik Dua Kaki SBY di Pilpres 2019 : Pertarungan pilpres 2019 adalah pertarungan ulang antara Jokowi versus Prabowo. Tampilny...